Belanda dikenal sebagai tanah kelahiran filosofi total football yang mengubah cara sepak bola dimainkan. Gaya permainan ini bukan sekadar tentang mencetak gol, tetapi juga menampilkan keindahan melalui kombinasi antar lini yang harmonis. Filosofi ini menitikberatkan pada permainan menyerang dan tekanan konstan sepanjang pertandingan. Namun, akhir-akhir ini, muncul anggapan keliru bahwa setiap tim harus mengadopsi permainan indah ala Rinus Michels dan Johan Cruyff, tanpa mempertimbangkan hasil akhir.
Total football juga membuat strategi bertahan seperti catenaccio dianggap usang. Padahal, dalam sepak bola, yang tercatat dalam sejarah adalah kemenangan, bukan sekadar permainan atraktif. Situasi serupa kini terjadi di timnas Indonesia. Sebagian suporter menginginkan permainan indah, sementara lainnya lebih mementingkan hasil akhir. Kekalahan 1-5 dari Australia dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026 membuat Indonesia harus bekerja keras untuk tetap bersaing di Grup C. Saat ini, Jay Idzes dan kawan-kawan berada di posisi keempat dengan enam poin, tertinggal empat poin dari Australia di peringkat kedua.
Di bawah asuhan Patrick Kluivert, Indonesia mulai menerapkan gaya permainan khas Belanda dengan penguasaan bola dominan dan pressing tinggi. Dalam laga melawan Australia, Indonesia mencatatkan 60 persen penguasaan bola—tertinggi sepanjang kualifikasi. Namun, efektivitas masih menjadi pekerjaan rumah. Tim Garuda masih kesulitan memanfaatkan peluang dan pertahanan tampak rapuh, terbukti dari 13 gol kebobolan dalam tujuh pertandingan.
Dengan tiga laga tersisa, Indonesia harus lebih realistis. Permainan indah saja tak cukup tanpa hasil positif. Kini, fokus utama adalah meraih poin sebanyak mungkin, meskipun harus bermain lebih pragmatis. Duel melawan Bahrain di Jakarta pada 25 Maret akan menjadi ujian krusial bagi Kluivert untuk membuktikan bahwa Indonesia masih memiliki peluang ke Piala Dunia 2026.